Static Page

September 19, 2006

Komputer Terkembang Jadi Guru

Project Gutenberg merayakan tahun ke-35. Indonesia masih belum tergerak melestarikan kekayaan teks dalam bentuk digital.

 
NELDEN Djakababa, 34 tahun, tak bisa menyembunyikan keriaannya. Psikolog yang aktif berkiprah di daerah konflik, serta syair dan cerita pendeknya kerap dimuat di The Jakarta Post, itu sedang bergairah terhadap sejarah Filipina. Di tubuh Nelden memang mengalir darah Filipino, warisan mendiang ibunya.
 
Ia putuskan mendalami karya-karya José Rizal, bapak nasionalisme Filipina yang juga sastrawan besar. Dua novel tenar José, Noli Me Tangere (The Social Cancer) dan El Filibusterismo (The Reign of Greed), yang menyebabkan tokoh itu digantung penguasa Spanyol, sudah lama dilahap Nelden. Problemnya: ia butuh esai-esai sosial-politik terpenting José yang ditulis pada periode September 1889 - Januari 1890.
 
Nelden yang sibuk itu tak punya waktu untuk mengunjungi perpustakaan di Manila. Untunglah ia menemukan situs Project Gutenberg Filipina. "Semua tulisan José Rizal terdokumentasi dengan baik, fiksi maupun non-fiksi," katanya lega. Yang menyenangkan, seluruh teks bisa diunduh (download) gratis.
 
Project Gutenberg Filipina lahir menyusul kesuksesan Project Gutenberg (PG), program digitalisasi buku gagasan Michael Hart ketika menjadi mahasiswa Universitas Illinois, Amerika Serikat. Bulan lalu, PG berulang tahun ke-35 dengan koleksi lebih dari 19 ribu judul dan pertambahan sekitar 50 judul baru setiap pekan.
 
Ada tiga jenis buku yang tersedia, yang dikategorikan PG sebagai "literatur ringan" (misalnya Alice in Wonderland), "literatur berat" (seperti Bibel, Al-Quran, dan manuskrip-manuskrip religius lain), serta "referensi" (aneka ensiklopedia dan kamus). "Misi PG sederhana saja, untuk menyuburkan penciptaan dan distribusi e-book," ungkap Hart, yang mengaku berutang budi dengan kebaikan kampusnya saat diperbolehkan memakai komputer induk (mainframe) Xerox Sigma V untuk sebuah riset lain.
 
Menurut Hart, jika dikonversi ke dalam nilai uang, jumlah waktu pemakaian komputer untuk risetnya itu hampir US$ 100 juta. "Saya ingin mengembalikan kebaikan kampus lewat program yang bermanfaat bagi orang banyak," katanya. Nama Johannes Gutenberg diambil Hart dari warga Jerman yang menemukan mesin cetak pada abad ke-15. Kini PG dikelola (hosting) oleh Ibiblio, lembaga dari Universitas North Carolina, Chapel Hill, yang bergerak dalam website gratis.

Pada tahun 2000 didirikan The Project Gutenberg Literary Archive Foundation, yang bermarkas di Mississippi. Salah satu pencapaian terpenting yayasan ini adalah bahwa donatur warga AS akan dikurangi kewajiban pajaknya kepada pemerintah (tax-deductible). Namun, melihat hampir semua koleksi PG adalah karya klasik Amerika, sejumlah negara mengadopsi format PG untuk melestarikan khazanah kesusastraan masing-masing, sembari menyesuaikan dengan peraturan hak cipta setempat. Beberapa negara yang sudah membuat program sejenis antara lain Australia, negara-negara Uni Eropa, Serbia-Montenegro, Finlandia, dan Filipina.
 
Bagaimana dengan Indonesia? "Jangankan e-book, membuat katalog online saja kita masih sulit," ujar Sekretaris Jenderal Ikatan Penerbit Buku Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta, Mula Harahap. Ia mengakui buku elektronik tak masuk prioritas IKAPI sembari menyayangkan Rencana Undang-Undang Perbukuan, yang kini tengah digodok pemerintah, juga luput membahas fenomena perkembangan e-book.
 
Hal inilah yang membuat Nelden sedih. Sebab, saat mengumpulkan bahan tentang José Rizal, ia juga mencoba mencari versi digital karya-karya klasik Indonesia seperti Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, atau Alam Terkembang Jadi Guru karya A.A. Navis. Semua pencarian di berbagai afiliasi Project Gutenberg hanya menampilkan lima kata: No record found. Please retry.
 
(Andari Karina Anom, Akmal Nasery Basral)
Sumber: Tempo, 18-24 September 2006